Surabaya, – Polemik seputar Surat Ijo kembali mencuat, warga Ngagel Wasana Kelurahan Baratajaya Kota Surabaya merasa menjadi korban ketidakjelasan administratif yang diduga dimanfaatkan oleh pihak Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya.
Dalam pertemuan itu, dihadiri oleh Heru Satrio Ketua Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Korwil Jawa Timur bersama warga Ngagel Wasana Surabaya yang diwakili Joshua ketua Forum Analisis Surabaya (FASIS) sangat memberikan dukungan penuh untuk memenangkan kotak kosong di Pemilihan Walikota Surabaya (Pilwali) 2024 mendatang.
Dalam kesempatan ini dibahas permasalahan ‘Tanah Surat Ijo’ yang menjadi polemik antara Pemerintah Kota Surabaya dan keinginan masyarakat yang menguasainya untuk diterbitkannya Sertifikat Hak Milik atas lahan tersebut.
‘Tanah Surat Ijo’ merujuk pada tanah aset Pemerintah Kota Surabaya yang dikuasai dan dipergunakan oleh masyarakat secara turun temurun. Izin Pemakaian Tanah (IPT) atas lahan tersebut dikeluarkan menggunakan map berwarna hijau yang kemudian menjadi awal penyebutan ‘Tanah Surat Ijo’.
“Kasus tanah surat ijo merupakan satu fenomena yang tidak lepas dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia, khususnya dalam hal tata kelola tanah,” ujar Heru Satrio Ketua MAKI Korwil Jatim.
Surat Ijo yang semula dimaksudkan sebagai resolusi Konflik Pertanahan yang terjadi pada awal kemerdekaan NKRI justru menimbulkan polemik baru. Masyarakat Pemegang Ijin Pemakaian Tanah (IPT) merasa keberatan terhadap Retribusi (sewa) dan Pajak PBB setiap tahunnya yang dikenakan terhadap Tanah yang dikuasai. Masyarakat juga menghendaki agar tanah yang dikuasai tersebut dapat diterbitkan Sertifikat Hak Milik.
“Paradigma penyewaan tanah di kota Surabaya yang didasarkan pada Peraturan Daerah Kota Surabaya No. 22 Tahun 1977 tentang Ijin Pemakaian Tanah merupakan indikasi masih bercokolnya semangat kolonialisme pada era kemerdekaan. Rakyat sebagai penyewa dan Pemerintah Kota Surabaya sebagai pihak yang menyewakan tanah. Tak pelak legislasi itu menuai protes dari warga penghuni tanah surat ijo,” tutur Heru MAKI.
Keinginan warga ‘Tanah Surat Ijo’ untuk memiliki SHM atas tanah yang dikuasai diajukan berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam aturan tersebut, dinyatakan bahwa tanah yang dihuni warga selama lebih 20 tahun secara berturut-turut, bisa disertifikatkan menjadi hak milik penghuni.
Memperjuangkan tanah yang dikuasainya, warga juga berpegang Peraturan Menteri Negara Agraria atau Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1998 tentang Perubahan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal yang Dibebani Hak Tanggungan Menjadi Hak Milik. Adapun esensi dari aturan tersebut adalah memberikan peluang seluas-luasnya bagi perubahan status tanah negara untuk menjadi tanah hak milik warga Negara Indonesia.
“Perbedaan cara pandang antara masyarakat dan Pemkot Surabaya dalam menyikapi berbagai peraturan perundangan yang ada, terkait dengan permasalahan kewenangan Pemerintah Daerah, pengaturan tentang aset negara serta pendaftaran tanah menjadi bagian dari beberapa hal yang mengemuka pada isu pertanahan ini,” lanjut Heru.
Heru menyebutkan, bilamana persoalan surat ijo tersebut, antara warga Surabaya dengan Pemerintah Kota (Pemkot) tidak segera ditangani secara serius, maka MAKI dengan warga Surabaya akan menggunakan hak pilihnya untuk memenangkan kotak kosong dalam Pilwali 2024.
Sementara Joshua sebagai Ketua FASIS yang mewakili masyarakat menyebut bahwa pengurusan hak atas tanah seharusnya berada di Badan Pertanahan Nasional (BPN), bukan di Pemkot Kota Surabaya.
Hal ini menimbulkan kecurigaan warga, terutama karena beberapa wilayah di Surabaya sudah berhasil mendapatkan Sertifikat Hak Milik (SHM), sementara sebagian besar warga pemegang Surat Ijo masih harus membayar sewa tanpa kejelasan status tanah.
Warga mendesak agar Pemkot Surabaya mengembalikan surat segel asli dan surat pernyataan yang selama ini ditahan. Mereka berharap hal ini dapat memutus siklus dugaan korupsi dan ketidakadilan yang telah lama terjadi.
Selain itu, Joshua juga menyoroti perbedaan tarif sewa dan pajak PBB yang dianggap memberatkan, dengan beberapa kawasan dikenakan biaya tiga kali lipat lebih tinggi.
Isu ini semakin memanas, terlebih setelah warga yang memegang Surat Ijo mengklaim bahwa lebih dari 50% penduduk Surabaya terlibat dalam masalah ini.
Mereka berencana membawa permasalahan ini ke tingkat lebih tinggi, dengan harapan bisa mendapatkan keadilan melalui pengurus internal Jawa Timur serta pendampingan dari berbagai pihak.
Pertemuan ini diakhiri dengan tekad warga untuk terus berjuang mengatasi masalah Surat Ijo dan menuntut transparansi dari pihak-pihak terkait.
Mereka berharap agar kasus ini segera mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dan tidak lagi menjadi ladang korupsi bagi segelintir pihak.