Surabaya – Gen Z, generasi yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, merupakan kelompok demografis yang besar dan penting dengan pengaruh yang semakin meningkat. Menurut pemerhati komunikasi poltik dari Stikosa AWS, Dr. Jokhanan Kristiyono M.Med.Kom, untuk merangkul mereka dalam kegiatan politik, diperlukan strategi komunikasi yang tepat dan efektif.
“Pertama, sudah barang tentu, memahami karakteristik, nilai, dan kebiasaan Gen Z. Mereka adalah generasi yang digital native, terbiasa dengan teknologi dan internet. Mereka kritis, ingin terlibat, dan peduli terhadap isu-isu sosial,” terang Jokhanan yang juga tercatat sebagai Ketua Stikosa AWS, Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya ini, Rabu (29/5/2024).
Dengan memahami karakteristik Gen Z, setiap individu atau kelompok politik yang terlibat dalam Pilkada 2024 bisa membuat analisa terkait platform digital yang lekat dengan mereka. Seperti Instagram, TikTok, YouTube, dan Twitter. Berikutnya, kita tinggal membuat konten yang menarik dan informatif, dalam format yang sesuai dengan preferensi mereka, seperti video pendek, meme, dan infografis.
“Beberapa tim komunikasi politik kerap lupa untuk melibatkan Gen Z dalam sebuah kegiatan kampanye. Akibatnya, sajian yang ada sangat tidak memenuhi selera Gen Z. Misal, bahasa yang digunakan kaku dan formal,” tegas orang nomor satu di kampus komunikasi massa tertua di Indonesia Timur ini.
Ia menegaskan, di tahap ini, kita harus menggunakan bahasa yang lugas, mudah dipahami, dan sesuai dengan gaya komunikasi Gen Z. Bangun komunikasi yang terbuka dan transparan, tunjukkan bahwa suara mereka didengar dan dihargai.
“Berikan kesempatan kepada Gen Z untuk terlibat dalam pengambilan keputusan dan proses politik. Adakan forum diskusi, survei online, dan polling untuk mendapatkan masukan mereka. Tunjukkan bahwa mereka adalah bagian penting dari proses demokrasi,” tegasnya.
Upaya melibatkan Gen Z, lanjutnya, adalah wujud komitmen pelibatan Gen Z tidak sebatas sebagai object, tetapi juga sebagai subject. Hal yang sama tidak hanya dilakukan saat mengemas pesan, tapi juga pembuatan isu.
“Angkat isu-isu yang penting bagi Gen Z, seperti perubahan iklim, keadilan sosial, dan kesehatan mental. Tunjukkan bagaimana kegiatan politik dapat memberikan solusi untuk masalah-masalah tersebut. Sampai di sini, bila perlu, ajak influencer,” tegas Jokhanan.
Bekerja sama dengan influencer Gen Z yang kredibel dan memiliki banyak pengikut. Influencer dapat membantu menyebarkan informasi dan mempromosikan kegiatan politik kepada audiens yang lebih luas.
“Dalam strategi komunikasi secara umum kita juga harus terbiasa untuk menggunakan logika dan cara menciptakan pengalaman yang interaktif. Gunakan gamification, augmented reality, dan virtual reality untuk menciptakan pengalaman yang interaktif dan menarik bagi Gen Z. Hal ini dapat membantu meningkatkan partisipasi dan engagement mereka,” terang penulis buku Konvergensi Media dan Komunikasi Grafis ini,
*Konsisten dan berkelanjutan bersama Gen Z*
Bekerja sama dengan organisasi dan komunitas Gen Z yang sudah ada, kata Jokhanan, dapat membantu menjangkau kelompok ini lebih efektif dan membangun kepercayaan. Maklum, membangun hubungan dengan Gen Z kadang membutuhkan waktu dan usaha ekstra.
“Konsistenlah dalam komunikasi dan engagement Anda, dan tunjukkanlah komitmen Anda untuk jangka panjang. Terbuka untuk masukan dan kritik dari Gen Z. Dengarkan apa yang mereka inginkan dan butuhkan, dan pelajarilah dari mereka,” tandas Jokhanan.
Karena, imbuhnya, Gen Z harus dilibatkan subject, bukan hanya object. Apalagi jika diposisikan sebagai kelompok penyedia suara semata.
“Tapi ada kepentingan yang harus dilayani, ada suara yang wajib didengarkan, ada gerakan yang harus melibatkan secara konsisten dan berkelanjutan. Karena ingat, politisi yang notabenenya akan menjadi pejabat publik, tidak bisa tidak, dia harus paham dan mengerti publiknya. Kuncinya kan di situ?” tutup Jokhanan sambil tersenyum. *